Feeds:
Pos
Komentar

Archive for Maret, 2008

Expressions of Warning

Study this dialog. Pay close attention to the underlined expression!

 

Wina                : “Mom, let me go out for a while, please?”

Mother             : “Where are you going to, Win?”

Wina                : “I’d like to visit Ririn. She got accident this morning. She is in the hospital now.”

Mother             : “Okay, but take care when you drive! The road is very slippery.”

Wina                : “Thank you, Mom.”

 

 

Note

 

If we want to warn someone, we may have the following expressions:

  1. Watch out!
  2. Look out!
  3. Be careful!
  4. Take care when you drive!
  5. Whatever you do, do it carefully.
  6. These tablets should be kept out of the reach of the children.
  7. Read the instruction attentively
  8. Keep of the carpet. It has just been cleaned.
  9. Beware!

 

Read Full Post »

Study this dialog. Pay close attention to the underlined expression!

 

John is Melanie’s classmate. He didn’t come to a meeting held in previous day. So, he asked Melanie about the meeting.

JOHN              : “How was the meeting yesterday, Mel? Did you enjoy it?”

MELANI         : “Yes I did. It was really delightful.”

JOHN              : “Were there a lot of people there?”

MELANI         : “Of course. You know, the meeting was attended by more than fifty students. The discussion was not only conducted by Mr. Joko but also Mr. Johnson. He is a native speaker from England. You know what? I was chosen to sing our national anthem before the meeting.”

JOHN              : “Wow that was fantastic. I wish I was there at that time.”

MELANI         :  “You really should be there John.”

 

Note

 

  1. If we are pleased with something, we can use the following expressions :
    1. It is delightful (marvelous, fascinating, enjoyable).
    2. I had a splendid time.
    3. Great.
    4. Fantastic.
    5. That’s wonderful.
    6. I’m very pleased with it.
    7. I’m delighted to hear that.
    8. It gives me pleasure.

 

  1. If we are displeased, we can use the following expressions :
    1. It was very poor.
    2. It’s a shame.
    3. That’s too bad.
    4. I was very disappointed.
    5. Oh no.
    6. Oh, hell no.
    7. What a nuisance!
    8. I really hate…….
    9. It really makes me angry.
    10. I’m very annoyed.
    11. I can’t stand ……..
    12. I’m feed up with …..
    13. I’m extremely displeased to …….

Read Full Post »

untukmu firdaus

Untukmu Firdaus

Namamu indah bukti keagungan Allah

Telagamu sejuk hapuskan dahaga para syuhada

Wangimu semerbak tercium dari jarak sekian dan sekian

Di sini aku…. Dalam sujudku……

Terpekur merenungi dosa yang tak dapat terhitung

Dengan rumus aljabar apapun……

Dalam sujudku….

Tetap ku mengharap ridha-Mu…. ya Allah

Berharap ampunan dan curahan kasih sayang-Mu

Ya….. Rabb……

Ampunilah dosa-dosaku….

Limpahkanlah rahmat-Mu hamba-Mu ini

Agar aku tak lagi terkurung dalam dosa

Yang membuatku jauh dari surga Firdaus-Mu

Wahai Firdaus…….. Nantikanlah aku…….

Bila nanti saatku tiba

Dengan ridha Allah aku akan datang

Untuk menemui rasulku tercinta

Melalui bab Dhuha-Nya

Read Full Post »

Sore itu hujan turun dengan deras membasahi pohon kering yang hampir mati. Namun akarnya masih kokoh, masih menyimpan harapan untuk menumbuhkan tunas baru. Aku termenung di depan jendela kamarku menatap lekat tiap tetesan hujan yang membasahi pohon itu. Aku sangat menyukai hujan karena saat aku menangis takkan ada orang yang tahu. Hanya gemericik hujan yang kan terdengar.

                “Ester sayang, ada tamu!” teriak mama dari balik pintu membuyarkan lamunanku.

 “Siapa sih yang datang hujan-hujan begini?mengganggu saja!”gerutuku dalam hati. Pikirku kalau ternyata Sandi yang datang akan ku panggang dia hidup-hidup. Sebab hanya mahkluk usil itu yang selalu datang saat hujan seperti ini.

                Kuturuni satu-persatu anak tangga yang membawaku menuju ke ruang tamu. Jantungku berdekup kencang saat melihat seorang wanita yang berada di hadapanku dan tersenyum menatapku.

                “Aku datang untuk memenuhi janjiku, aku harap belum terlambat,”ucapnya.

                “Astriaaa….!”teriakku bahagia.

                Aku segera berlari kearahnya dan memeluknya. Tak peduli dengan pakaiannya yang basah kuyup. Aku tak percaya bahwa Tria berada di sini, tepat di hadapanku. Aku tak mampu berkata, hanya air mata yang mengalir hangat tanpa suara mewakili bibirku mengungkapkan kebahagiaan.

                Hujan mulai reda hanya menyisakan warna indah pada pelangi yang menghiasi langit sore. Sementara itu sinar matahari yang mulai tenggelam menyelinap masuk melalui celah-celah rimbunnya pohon cemara yang tumbuh di depan rumahku. Alam turut ceria seakan-akan mewarnai kebahagiaan yang kami rasakan.

Tiba-tiba Tria membuka percakapan,”Ester maafin aku ya, soalnya aku gak sempet ngasih kabar sama kamu waktu aku pindah ke Batam.”

Gak apa-apa kok! Yang penting sekarang kita bisa ketemu lagi. Kamu tau gak aku kan kangen banget sama kamu?”jawabku.

Sejenak kami terdiam mengenang masa lalu yang pernah kami lalui bersama. Kemudian aku bertanya padanya,

“Tria kamu inget gak waktu kita ngumpul bareng Meli dan Asti? Kapan ya kita bisa ketemu sama meraka lagi?

“Iya nih, aku juga kangen sama mereka. Gimana kalo besok kita pergi kerumah mereka?”Tria balik bertanya.

                Besok? Aku berpikir sejenak. Tak bisa, besok aku sudah punya janji dengan Sandi. Aku sudah berulang kali membatalkan janji dengannya. Dan kali ini aku tak mungkin membatalkannya lagi. Aku tahu Sandi sangat pengertian tapi aku tak bisa terus-menerus mengecewakan kekasihku itu.

Lalu kukatakan pada Astria bahwa besok aku tak bisa pergi dengannya. Kulihat kekecewaan yang begitu besar terpancar dari wajahnya. Betapa tidak, baru kali ini aku menolak ajakannya. Aku segera meminta maaf dan berjanji takkan mengecewakannya lagi, tapi tria hanya terdiam.

                Hari mulai gelap dan aku memaksa Tria untuk menginap di rumahku. Seusai makan malam kami melanjutkan perbincangan kembali. Tria bercerita tentang kisah cintanya yang selalu kandas di tengah jalan hal itu membuatnya membenci semua laki-laki.

Aku mencoba menasehati Tria, kukatakan bahwa suatu hari dia akan mendapatkan kekasih hati yang akan mencintainya sepenuh hati. Namun Tria hanya terdiam, tatapan matanya kosong. Entah apa yang dia pikirkan. Sesaat kemudian dia bertanya,

                “Ester, apa kamu mau berjanji untuk selalu menyayangi aku?”

                “Tentu saja, aku kan sahabatmu. Aku janji makan selalu sayang sama kamu.”

                “Aku tau Ester, kamu pasti akan selalu menyayangiku. Itu sebabnya aku datang kemari.”

Tingkah laku Tria mulai aneh,dia terus memandangiku. Aku menangkap ada sesuatu yang asing dibalik sorot matanya. Kemudian dia membelai lembut pipiku dan berkata,

                “Ester, ternyata hanya kamu yang bisa mengerti perasaanku. Aku yakin kamu bisa membuatku bahagia.”

                Astria berusaha menciumku, namun aku menghindar. Tanpa kusadari tanganku telah mendarat di pipinya. Oh.. Tuhan apa yang telah kulakukan?dalam persaan kaget bercampur marah aku membentaknya,

“Tria..apa yang kamu lakukan? Apa kamu sadar atas perbuatan kamu?”

Tria tetunduk dan menangis. Sambil terisak dia berkata,

                “Maafkan aku Ester. Aku tak bisa mengendalikan diri. Aku terlalu kagum pada dirimu. Dan aku terlalu lemah untuk mengingkari perasaanku terhadapmu.”

                “Tidak Tria, cukup! Demi Tuhan,aku tak mau mendengarnya lagi!”

                Aku meninggalkan Tria sendiri di kamar tamu. Batinku tersa kalut, kesedihan dan kekecewaan berkecamuk dalam dadaku dan membuatku sesak. Malam yang semakin kelam menemaniku mengusir kegalauan.

                Hangatnya mentari pagi menyentuh wajahku dengan lembut. Membuatku terbangun dari dekapan malam yang telah berlalu. Mama sudah berdiri di hadapanku dan mengucapkan selamat pagi. Mama mengatakan bahwa Tria sudah pulang pagi-pagi sekali dan menitipkan sebuah kado untuku.

Perlahan kubuka kotak peersegi panjang yang berbungkus kertas kado berwarna pink itu. Di dalamnya ada sekuntum mawar hitam dan sepucuk surat. Aku segera membaca surat itu setelah mama keluar dari kamarku.

Dear Ester….

Ester sahabatku, aku hanya ingin menepati janjiku. Aku membawa mawarhitam yang pernah kujanjikan. Mawar ini mungkin tidak sesuai harapanmu karena aku telah mengawetkannaya agar tidak akan pernah layu. Aku harap persahabatan kita pun seperti itu, akan tetap abadi sampai kapanpun. Semoga kamu menyukainya.

Sesungguhnya aku ingin kamu mengetahui rahasia terbesar dalam hidupku. Kekasih yang sangat kucintai telah menularkan virus HIV ke dalam tubuhku dan setelah itu dia meninggalkanku sendiri. Hal itulah yang sebenarnya membuatku membenci semua laki-laki.

Namun semakin aku ingin sendiri, semakin besar rasa kesepin mendera batinku. Untuk mengusir kesepian itu aku menjalin kasih dengan Deasy, teman sekantorku. Sayangnya hubungan kami tidak berlangsung lama karena Deasy harus menikah dengan pria pilihan ibunya.

Akhinya keluargaku mengetahui hal itu. Aku mencoba menjelaskan semuanya kepada keluargaku dengan harapan mereka mau mengerti keadaanku. Namun kenyataan tak seindah angan-anganku. Keluargaku tak dapat menerimanya. Mereka mengusirku karena malu, bahkan mereka tak mau mengakuiku lagi.

Selama delapan tahun ini aku hidup dalam kesendirianku. Dalam keterasinganku aku berusaha melawan virus yang dengan ganas terus menggerogoti tubuhku. Aku mencarimu karena kupikir hanya kamulah yang bisa mengerti keadaanku. Tapi ternyata aku salah. Kedatanganku hanya merusak kebahagiaanmu.

Kau begitu sempurna bagaikan melati putih yang suci. Sedangkan aku bagaikan mawar hitam yang durinya menusuk tajam. Duniamu terlalu terang bagi duniaku yang gelap. Kini kusadari betapa waktu telah banyak mengubahmu. Dan aku tak dapat berharap lagi padamu. Selamat tinggal!

Betapa perihnya hatiku membaca surat itu. Tak kuduga Tria yang dulu begitu tegar dan mampu membangkitkanku saat kuterjatuh, ternyata kini jiwanya begitu rapuh. Ketegarannya meluruh bagai kayu yang telah menjadi abu. Aku merasa sangat bersalah padanya. Tak sepatutnya aku membiarkan Tria sendiri saat dia  sangat membutuhkanku. Semua itu benar-benar membuatku kalut.

Setelah mendengar saran dari mama, akhirnya aku memutuskan untuk mencari Tria dan meminta maaf padanya. Kebetulan Sandi datang dan akupun memintanya untuk menemaniku mencari Tria.

Kami menghubungi saudara-saudara Tria yang berada di kota ini, mungkin saja mereka mengetahui keberadaan Tria. Kami juga mencari Tria di pantai  tempat aku, Tria , Meli, dan Asti biasa menghabiskan waktu saat kami masih sering bersama-sama.

Namun semua itu tak membuahkan hasil, semuanya sia-sia. Aku lelah dan hampir putus asa jika saja Sandi tak menemaniku.sejenak kami beristirahat di sebuah café yang terletak di pinggiran kota ini. Tak kuduga aku melihat Tria sedang duduk di sebuah kursi di pojok café itu.

Tria sangat terkejut melihat kedatanganku. Dia berlari ke arah luar mengggunakan pintu yang lain untuk menghindari kami. Namun aku berusaha mengejarnya sambil berteriak memanggi-manggil namanya. Aku tak peduli dengan tatapan orang-orang yang berada di sekitarku.

Tria terus berlari tanpa memperhatikan sebuah truk yang tengah melaju kencang ke arahnya. Aku mencoba memperingatkannya, namun terlambat. Dalam sekejap saja truk itu menghantam tubuh Tria dan menghempaskannya hingga beberapa meter.

Dengan penuh ketegaran aku menghampiri Tria yang tergeletak tak berdaya. Darah segar mengalir deras dari kepalanya membasahi sekujur tubuhnya yang kian melemah. Kuraih tangannya dan kucium dengan penuh kasih sayang. Tak terasa air mataku telah menetes membasahi pipi.

“Tria kamu kamu harus bertahan! Aku akan membawa kamu ke rumah sakit. Kamu tidak boleh menyerah, kamu harus kuat!”

Astria menatapku dengan tajam,

“Tidak Ester…aku sudah lelah…aku…tak punya…harapan lagi…aku…lelah…”

“kamu salah Tria, kamu sangat berarti untukku.aku tak ingin kehilanganmu!”

Sejenak Tria menarik napas mencoba menahan rasa sakit.

“Kamu bohong…Ester…ka…mu …bohong…….kamu sudah…membuatku…kecewa…… aku….benci…ka…mu……….”

Betapa pedih hatiku mendengar kata-kata itu,namun aku berusaha untuk tetap tegar.

“Aku mohon Tria jangan benci aku, maafkan aku. Aku berjanji akan melakukan apapun untuk menebus kesalahanku.”

Tria menarik napasnya dalam-dalam, matanya terpejam menahan sakit yang makin menyiksanya.

“Tidak…Es…ter…..semu…a…sudah…. terlam…bat…….!”

Suaranya makin tak terdengar.

“A…..ku….su….dah…….le…..lah…….a………ku………….”

Belum sempat dia menyelesaikan kalimatnya, namun malaikat pencabut nyawa telah membawa jiwanya pergi.

“Oh…Tuhan…kenapa semua ini terjadi pada orang yang kusayangi? Kenapa?”

Aku tak kuasa membendung tangisku meratapi kepergian Tria. Semua orang yang berada di sekitarku hanya berdiri mematung. Tak ada yang berkata sedikitpun. Hanya Sandi yang terus berusaha meyakinkan aku bahwa Tuhan telah menentukan yang terbaik bagi Astria.

Aku mencoba menguatkan hatiku, tapi tetap saja aku tak bisa menerimanya. Tak kuduga Tria begitu membenciku. Bahkan dia tak mau memaafkanku saat ajal menjemputnya.

“Bagaiman mungkin aku bisa merelakan Tria pergi dalam kebencian? Bagaimana aku harus menebus kesalahanku?”

Kamu hanya perlu meyakinkan diri bahwa dalam hati kecilnya Tria telah memaafkanmu.!”ucap Sandi penuh keyakinan.

Aku menatap  Sandi mencoba mencari ketenangan di balik dua matanya itu.

“Ya…. Kuharap kamu benar San.”

Malam ini malam terakhir di bulan januari, menjadi malam terakhir pula dalam kisah hidup Astria. Aku merasakan malam yang begitu gelap dan semakin gelap. Bintang-binatng pun menghilang, bersembunyi di balik  pekatnya kesunyian. Apakah langit ikut bersedih atas apa yang ku alami? Tapi aku mencoba percaya pada Sandi bahwa sesungguhnya Tria telah memaafkan kesalahanku. Semoga saja.

 

***

Read Full Post »

Hello world!

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!

Read Full Post »